Konsep Tabularasa John Locke dengan Konsep Fitrah dalam Psikologi Islam

Pengertian Fitrah

Secara etimologi, fitrah berasal dari kata “al-fathr” yang berarti “belahan”,  dan dari makna lahir makna-makna lain adalah “penciptaan” atau “kejadian”. Ibnu Abbas memahaminya dengan arti, “saya yang membuatnya pertama kali.” Dari pemahaman itu sehingga Ibnu Abbas menggunakan kata fitrah untuk penciptaan atau kejadian sejak awal. Sehingga  Fitrah manusia adalah kejadiannya sejak awal atau bawaan sejak lahir.

Dalam al-Qur’an kata ini antara lain berbicara dalam konteks penciptaan manusia baik dari sisi pengakuan bahwa penciptanya Allah, maupun dari segi uraian tentang fitrah manusia. Hal itu dapat dilihat dalam Surat Ar-Rum ayat 30:

 فأقـم وجهك للدين حنيفا فطرة الله التي فطر الناس عليها لا تبديل لخلق الله ذلك الدين القيم ولكن أكثر الناس لا يعلمون
Artinya :
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (pilihlah) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Q.S. Ar-Rum: 30)                      

Kata “Fitrah Allah” dalam ayat di atas,  maksudnya ciptaan Allah. Manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan.Selain itu, kata “fitrah” dalam ayat diatas mengandung banyak interpretasi, yaitu;
1)  Fitrah yang berarti suci (thuhr), yaitu kesucian jasmani dan rohani.
2)  Fitrah yang berarti Islam (dienul Islam), maksudnya adalah agama Islam.
3) Fitrah yang berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid), yaitu kecenderungan manusia untuk meng-Esa-kan Tuhan dan berusaha terus untuk mencari ketauhidan tersebut.
4) Fitrah yang berarti murni (al-Ikhlas), yaitu keikhlasan dalam menjalankan sesuatu yang menjadi salah satu sifat manusia.
5) Fitrah, yang berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecenderungan untuk menerima kebenaran.
6) Fitrah yang berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan ma’rifatullah.
7) Fitrah yang berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan dan kesesatannya.
8) Fitrah  yang berarti tabiat alami yang dimiliki manusia  (human nature).

Sedangkan menurut kesimpulan Muhammad bin Asyur tentang makna fitrah dalam surat Ar-Rum tersebut, adalah; Fitrah adalah bentuk dan sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan jasmani dan akalnya (serta ruhnya).

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata “fitrah” diartikan  sebagai “sifat asal; bakat; pembawaan;  serta  perasaan  keagamaan”. Di samping itu, kata “fitrah” dapat  diartikan juga dengan “naluri”, yaitu “dorongan hati  atau nafsu pembawaan yang menggerakkan untuk berbuat sesuatu”.  Jadi, fitrah  adalah sifat, watak, bakat dan perasaan kegamaan yang dibawa manusia sejak lahir. Sedangkan naluri adalah kecenderungan hati atau nafsu yang dibawa sejak lahir yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu, yang baik maupun yang buruk.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa fitrah menurut Islam sebagaimana dalam  al-Qur’an Surat Ar-Ruum ayat 30 di atas, bahwasanya manusia dilahirkan membawa   naluri   keimanan   kepada  Allah  dan  kesiapan  menerima  Islam  dalam penciptaannya.  Selain fitrah yang dibawa manusia sejak lahir adalah serangkaian naluri dan kecenderungan yang tampak secara aktual, dan  naluri yang dibawa oleh manusia dalam bentuk kecenderungan yang mungkin akan berubah dari potensi menuju kemampuan yang aktual  pada waktu tertentu.


B. Macam-Macam Pandangan Tentang Fitrah Manusia

Menurut Yasien Muhammad, pemahaman terhadap pandangan fitrah ini dapat dikelompokkan dan dibedakan menjadi empat, yaitu: pandangan fatalis, pandangan netral, pandangan positif, dan pandangan dualis.

1. Pandangan Fatalis

Pandangan ini mempercayai bahwa setiap individu, melalui ketetapan Allah adalah baik atau jahat secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara semuanya atau sebagian sesuai dengan rencana Tuhan.
Syaikh Abdul Qodir Jailani, tokoh populer pandangan ini, mengungkapkan bahwa seorang pendosa akan masuk surga jika hal itu menjadi nasibnya yang telah ditentukan Allah swt.  Sebelumnya. Tokoh lain al-Azhari menyatakan bahwa sifat dasar yang tidak berubah dari fitrah berkaitan dengan nasib seseorang untuk masuk surga atau neraka.dengan demikian tanpa memandang faktor-faktor eksternal dari petunjuk dan kesalahan petunjuk, seorang individu terikat oleh kehendak Allah  untuk menjalani cetak biru (blue print) kehidupannya yang telah ditetapkan baginya sebelumnya.  Ibnu mubarok tokoh utama pandangan fatalisme, menafsirkan salah satu hadis bahwa anak-anak orang musyrik terlahir dalam keadaan kufur atau iman.

2. Pandangan Netral

Pandangan ini dikomandani oleh Ibnu ‘Abd Al-Barr. Mereka mendasarkan pandangannya pada firman Allah swt.
والله أخرجكم من بطون أمهاتكم لا تعلمون شيئا وجعل لكم السمع والأبصار والأفئدة لعلكم تشكرون
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun.”  (QS An-Nahl : 78).

Penganut pandangan netral berpendapat bahwa anak terlahir dalam keadaan suci, suatu keadaan kosong sebagaimana adanya. Tanpa kesadaran akan iman atau kufur. Mereka lahir dalam keadaan utuh atau sempurna, tetapi kosong dari suatu esensi yang baik atau yang jahat. Menurut pandangan ini, manusia dilahirkan dalam keadaan bodoh dan tidak berdosa. Dia akan memeperoleh pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, tentang kebaikan dan kebenaran serta keburukan dan kejahatan, dari lingkungan eksternal.

Menurut pandangan ini, iman (kebaikan) atau kufur (keburukan) hanya mewujud ketika anak tersebut mencapai kedewasaan (taklif). Setelah mencapai taklif, seseorang menjadi bertanggung jawab atas perbuatannya.

3. Pandangan Positif

Menurut Ibnu Taimiyah semua anak terlahir dalam keadaan fitrah, yaitu dalam kebajikan bawaan, dan lingkungan sosial itulah yang menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan  ajaran agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.

Ibnu Taimiyah memberikan tanggapan atas pandangan Ibnu ‘Abd Al-Barr dan menegaskan bahwa fitrah bukan semata-mata sebagai potensi pasif yang harus dibangun dari luar, tetapi merupakan sumber yang mampu memebangkitkan dirinya sendiri yang ada dalam individu tersebut. Orang yang hanif bukanlah seseorang yang bereaksi terhadap sumber-sumber bimbingan, tetapi seseorang yang secara alamiyah telah terbimbing dan berupaya memantapkan dalam praktik secara sadar.

Tentang keterkaitan antara fitrah dan dien islam, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa terdapat suatu kesesuaian alamiyah antara sifat dasar manusia dan dien islam. Agama islam menyediakan kondisi ideal untuk memepertahankan dan mengembangkan sifat-sifat bawaan manusia. Sifat dasar manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu cinta kepadanya dan keinginan untuk melaksanakan agama secara tulus sebagai seorang hanif sejati.

Selanjutnya, apakah fitrah dapat rusak, ada perbedaan pendapat diantara penganut pandangan positif. Pertama. Fitrah bisa rusak, Ali Ash-Shabuni dan Al-Faruqi berpendapat demikian, Ali Ash-Shabuni mengungkapkan bahwa fitrah dapat rusak disebabkan masyarakat memperlihatkan kesalahan, penderitaan, dan kekufuran kepada anak. Manusia itulah yang merusak dan mengubah apa yang tercipta dalam keadaan indah dan baik. Al-Faruqi berpendapat bahwa fitrah bisa rusak,  karena adanya dorongan-dorongan yang jahat atau hawa nafsu. Kedua, fitrah tidak bisa rusak. Muhammad Asad mengungkapkan bahwa Allah tidak akan membiarkan suatu perubahan untuk merusak  apa yang telah dia ciptakan. Mufti Muhammad Syafi’i juga berpendapat demikian. Memurutnya, keadaan intrinsik fitrah tetap sebagai suatu keadaan yang tidak berubah, sementara keadaan-keadaan ekstrinsik yang bermacam-macam dari keimanan dan perilaku bisa berubah dan bersifat dinamis.

4. Pandangan Dualis

       Pandangan ini berbeda dengan pandangan fatalis, netral dan positif. Menurut mereka penciptaan manusia membawa suatu sifat dasar yang bersifat ganda. Menurut Quthb, dua unsur pembentuk esensial dari struktur manusia secara menyeluruh yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan kebaikan dan kejahatan sebagai suatu kecenderungan yang setara pada manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti tuhan dan kecenderungan untuk tersesat. Selanjutnya Quthb berpendapat bahwa kebaikan yang ada pada diri manusia dilengkapi dengan pengaruh-pengaruh eksternal seperti kenabian dan wahyu Tuhan sementara kejahatan yang   ada pada diri manusia dilengkapi faktor eksternal seperti godaan dan kesesatan.

Shari’ati berpandangan bahwa  tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan ruh (dari) Allah. Dengan demiikan manusia adalah makhluk berdimensi ganda  dengan sifat dasar ganda, suatu susunan dari dua kekuatan, bukan saja berbeda, tetapi juga berlawanan.
      
C. Perbandingan Pandangan Psikologi Islam, Filsafat dan Psikologi Modern

           Adapun perbandingan pandangan psikologi islam dengan filsafat dan psikologi modern tentang fitrah manusia adalah sebagai berikut:

1. Doktrin Kristen
Berbeda dengan pandangan Psikologi Islam, menurut doktrin Kristen manusia terlahir dalam kedaan dosa dan dalam suatu keadaan yang tidak suci.

2. Pandangan Psikoanalisis
Pandangan ini mengungkapkan bahwa manusia lahir dalam keadaan cenderung untuk memenuhi dorongan hidup (eros) dan dorongan mati (thanatos). Darongan hidup mewujud dalam bentuk libido-seksualita, dan dorongan mati dalam bentuk bunuh diri dan agresi.

3. Pandangan Fisafat Empirisme dan Psikologi Perilaku
Pandangan ini mengacu dari teori tabularasa, yaitu manusia lahir dalam keadaan netral, bagaikan kertas putih. Manusia tidak memiliki bakat atau potensi yang bersifat melekat dalam dirinya semenjak lahir untuk menjadi manusia yang baik atau buruk. Kebaikan dan keburukan, kepandaian dan kebodohan, semata-mata terjadi karena faktor-faktor yang bersifat eksternal.

4. Pandangan Filsafat Eksistensialisme dan Psikologi Humanistik
Pandangan ini mempercayai bahwa manusia memiliki potensi untuk mengatur kehidupannya sendiri. Karena kemampuan potensialnya itu, manusia memiliki peluang untuk menjadi pengatur dan penentu kehidupannya sendiri. Bahkan, manusia dapat menjadi Tuhan bagi dirinya sendiri.

Dari keempat pandangan di atas dapat dibandingkan bahwa
1. Pandangan Islam dan Psikologi Islami bersifat transcendental dan mempercayai sepenuhnya bahwa keberadaan manusia di ciptakan Alloh. Hal ini berbeda dengan pandangan filsafat dan psikologi barat modern yang tidak mencatat aspek penting bahwa kehadiran manusia diciptakan oleh Alloh
2. Menurut Islam dan Psikologi Islami, manusia diciptakan dengan tujuan dan misi khusus, yaitu beribadah kepada Alloh dan menjadi khalifah di bumi. Berbeda dengan psikologi barat yang tidak memandang tujuan dari penciptaan dan kehadiran manusia.


D. Potensi fitrah dalam psikologi Islam
1. Potensi Fisik (Psychomotoric), merupakan potensi fisik manusia yang dapat diberdayakan sesuai fungsinya untuk berbagai kepentingan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup.
2. Potensi Mental Intelektual (IQ), merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya : untuk merencanakan sesuatu untuk menghitung, dan menganalisis, serta memahami sesuatu tersebut.
3. Potensi Mental Spritual Question (SP), merupakan potensi kecerdasan yang bertumpu pada bagian dalam diri manusia yang berhubungan dengan jiwa dan keimanan dan akhlak manusia.
4. Potensi Sosial Emosional, yaitu merupakan potensi yang ada pada otak manusia fungsinya mengendalikan amarah, serta bertanggung jawab terhadap sesuatu.

Pendidikan   :      (Man is the core of educational process ; M.Rahim shaleh Abdullah; Educational Theory a Qur’anic Outlook, t.th; 47)
– …Sebuah usaha mendewasakan manusia (Kamus Besar Bhs.Indonesia)
– …Terbentuknya kepribadian yang utama bagi siterdidik (Ahmad D.Marimba)
– …Sebuah upaya memanusiakan manusia dan membudayakan manusia. Dst.
Aliran aliran pendidikan :

 Empirisme  :      Dipelopori John Locke (1632-1704)
(tabularasa)        –      anak dilahirkan dalam keadaan putih bersih, bagaikan kertas kososng.
–         perilaku/perkembangan anak dipengaruhi/ditentukan oleh orang tua, sekolah,masyarakat (lingkungan, pengalaman, dst.)
–         tugas pendidikan adalah menciptakan manusia baru essayswriters.biz atau membentuk generasi baru
–         kegiatan pendidikan lebih terpusat pada pendidik (teacher center)
 – Nativisme  : Dipelopori oleh Arthur Schopenhaur (1768-1860)
(teori bakat)                 –      anak dilahirkan lengkap dengan pembawaan bakatnya
–         pendidikan hanya berperan membantu anak diidik untuk menjadi apa yang akan terjadi sesuai dengan potensi pembawaan yang dikandungnya
–         anak akan belajar rajin apabila mereka dalam keadaan gembira dan tertarik mempelajari sesuatu yang sesuai dengan bakat dan kecenderungannya.
–         Kegiatan pendidikan terpusat pada anak didik (child center)
 – Konvergensi       :         Dipelopori William Stern (1871-1939)
(realisme)    –      bahwa kepribadian anak dibentuk oleh faktor endogen (nativis) dan eksogen
(empiris) atau oleh faktor dasar dan ajar.
–         faktor dasar (pembawaan) tidak berarti apa-apa tanpa upaya dari luar yaitu usaha pendidikan, sebaliknya faktor ajar (pendidikan) juga tidak cukup dan akan sia-sia tanpa memperhatikan faktor dasar.
–         Pendidikan menjadi tanggung jawab bersama; pendidik, siterdidik, orang tua dan masyarakat dalam membentuk hasil pendidikan yang sesuai dengan tantangan zaman.
Mana di antara aliran tersebut yang lebih baik/benar, bagaimana dengan konsepsi Islam ?

Pendidikan Islam :anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya.
–         Fitrah tidak sama dengan pengertian tabularasa John Locke, fitrah berarti asli, bersih, dan suci, bukan kosong tetapi berisi daya-daya yang wujud dan perkembangannya tergantung pada usaha manusia itu sendiri.
–         Jadi pendidikan dilakukan dengan mendayagunakan potensi-potensi tersebut dan mengembangkannya menuju Ma’rifatullah, dan bertaqwa kepada-Nya, menghayati sunnatullah, dan kemudian berserah diri kepadan-Nya.
–         Perbedaan dan persamaan dengan empirisme: keduanya sepakat bahwa anak yg baru lahir bersih dan suci, tetapi empirisme memandang bagaikan kertas kosong, sementara Islam memandangnya berisi daya-daya perbuatan.
–         Perbedaan dan persamaan dengan Nativisme: keduanya mengakui pentingnya faktor pembawaan atau dasar dalam pembentukan dan pengembangan pendidikan anak didik sehingga pendidik hanya sebagai fasilitator saja. Tetapi karena adanya nilai agama yang memiliki kebenaran mutlak, maka pendidik dalam pendidikan Islam bukan hanya sebagai pembantu saja tetapi ia bertanggung jawab akan terbentuknya kepribadian muslim pada anak didik.
–         Perbedaan dan persamaan dengan konvergensi: keduanya mengakui pentingnya faktor endogen dan eksogen dalam membentuk dan mengembangkan kepribadian anak didik, namun dalam Islam pendidikan didasarkan pada filsafat teocentris sehingga kepribadian anak itu dikembangkan pada Ma’rifatullah dengan memahami ayat-ayat qauliyah dan kauniyah-Nya (sunnatullah), sementara Konvergensi mendasarkan pada filsafat antropocentris untuk mencapai kedewasaan dan kesejahteraan duniawi.




Share on Google Plus

About cakharis.blogspot.com

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.

0 komentar:

Posting Komentar